Total Tayangan Halaman

Jumat, 16 September 2011

BAB 1


BAB 1

                SEORANG MAHASISWA bernama Andre Wongso. Adalah mahasiswa UGM – Uneversitas Gajah Mada, dalam jurusan sejarah. Andre Wongso memiliki kemampuan ingatan memori yang membuat nilai-nilainya tak kurangnya dibawah B. Seorang Andre Wongso sering dipanggil oleh teman-teman se-jurusannya, Andrew. Sebuah nama kebaratan dengan mencampur adukan antara Andre dan Wongso – Andrewongso. Sebuah panggilan yang sangat akrab. Tetapi saat dia terpanggil untuk presentasi tesis terakhirnya di semester ini. Dia mendengar namanya dipanggil dengan mengerikan :
                “Selanjutnya Wongso” Suaranya keluar dari dalam ruangan. Bak rumah hantu di Jatim Park. Andre Wongso masuk dengan hati yang berdegub-degub. Dia membayangkan 3 orang dosen meperhatikan presentasi tesisnya, dengan tatapan tajam mengerikan.*

                Andrew menatap langit lega. Melihat awan mega merah berjalan kearah barat. Sore. Angin laut menerpa rambut gelombangnya. Dia merasa lega dengan selesainya presentasi tadi. Awan semakin merah. Matahari tinggal seperempat. Sisanya telah tenggelam. Jauh di arah timur. Langit sudah menjadi biru gelap. Keringat bercucur di dahinya, lalu mengalir ke pipi dan jatuh ke dagu kotaknya. Dadanya yang gagah basah terkena keringat. Tangannya yang berotot, penuh belukar, lembab bekas keringat yang diterpa angin malam. Dia kembali masuk ke kamar kos-nya. Berlari di jalan, gang-gang kecil. Kakinya sangat atletis. Andrew seorang pelari marathon yang handal, pula sayap kanan sepakbola. Dia berlari kecil. Senyum dengan orang yang berpapasan dengannya, terkadang melantunkan salam. Di berlari ber-elok-elok masuk kepelosok gang-gang kecil. Orang  Jakarta, Kediri, Surabaya, Bandung, dengan pula terkadang orang Melayu dan Padang.
                Sesampainya di kosnya, Andrew berbalik dan menatap langit. Tinggal selangkah lagi aku lulus, Ayah. Andrew menatap langit yang semakin gelap, menghayati awan-awannya. Pertama kali kulihat langit perkotaan, penuh kotoran debu industrian, bias seindah ini. Andrew menatap langit, dia ingat hari dimana dia terakhir kali melihat Ayahnya. 3 tahun yang lalu, sebelum masuk UGM. Dia larut dalam Memory-nya. Memory tentang Ayahnya.

                Andre 3 tahun sebelum sekarang, adalah anak yang baru lulus SMA. Dia dipanggil Andre oleh seluruh sanak Keluarganya. Seorang yang bercita-cita besar. Ini semua karena pengaruh Ayahnya. Sugianto Wongso adalah guru sejarah SMP, yang gila akan cerita dongeng maupun legenda. Ayahnya senang bercerita tentang Legenda, dongeng tentang keturunan, terutama sejarah negera republiknya, tanah airnya Indonesia. Itulah yang mendorongnya masuk ke jurusan Sejarah.
                Semua berjalan indah dengan Ayah dan Ibunya. Andre adalah anak tunggal. Indah. Dan Harmonis. Tidak hingga kecelakaan itu terjadi. Sehari sebelum kejadian itu, perasaan Andre Wongso sangat aneh. Begitu juga Ayah dan Ibunya. Perasaan apa ini?. Piker Andre. Dia merasa sangat kesepian.
                Suara panggilan itu terdengar pelan dan halus. Suara Ayah kepada Anaknya. Malam itu gelap rumah masih sedikit terang dengan lampu menyala di ruang keluarga. Jam 9 itu. Tak akan pernah dilupakan malam itu bagi Andre. Lantas Andre berjalan kearah ruang keluarga dari kamarnya. Ruang tempat berkumpulnya seluruh keluarga itu, hanya ditempati satu sofa putih yang panjang, dan 2 sofa putih pasangannya. Televisi menghadap kearah Ayah Ibunya, yang duduk diatasnya. Mungkin ada sesuatu tentang kuliahku, satu bulan mendatang. Pikirnya.
                “Ada yang Ayah ingin bicarakan…” katanya lirih. Dengan baying-bayang yang tersinar lampu meja seadanya. Sesuatu yang penting?. Pikirnya.
                Lantas Andre berjalan keatas karpet yang menadahi sofa dari lantai itu. Sejurus kemudian dia sudah duduk di tengah, diantara kehangatan keluarganya. Sesuatu yang penting. Pikirnya. Apa aku pulang kemalaman? Atau Aku ketahuan merokok lagi?. Pikirnya, memang saat SMA Andre adalah korban teman-temannya, gengsi katanya kalau tidak ikut-ikutan.
                Tapi tidak mata Ayahnya sejernih lautan, dia tak akan marah. Begitu pula ibunya. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukan dan tidak. Dan Andre tahu mereka tidak akan marah. Kacamata ibu putih terkena cahaya lampu meja. Di samping meja memang ada meja kecil untuk menaruh lampu meja. Tiba-tiba, tangan Ayah mengelus rambutku. Penuh kasih sayang seorang Ayah. Apakah mereka kangen kepadaku?.  Lalu ibu berdiri. Dan lari kecil, masuk kedalam kamar. Sesuatu telah terjadi, pertengkarankah? Tidak, tidak mungkin. Ayah Ibunya sangat akur, Andre tahu itu.
                “Nak, belajarlah yang giat, kaulah penerus kami.” Ayahnya mengatakan yang seharusnya tidak usah dikatakan, Andre sudah tahu apa yang harus dia lakukan di kuliah nanti. “ Nak, jika suatu saat telah terjadi sesuatu,..” Apa yang akan terjadi?. Piker Andre. “Dan setelah lulus tingkat pertama nanti, di uneversitas, yang harus kamu lakukan adalah, tarik laci meja kerja Ayah.” Ujar Ayahnya. Hah? Meja kerja Ayah yang tua dan kuno, penginggalan itu?.Pikir Andre, dengan pikiran Meja tua turun menurun, yang ada di ruang kerja Ayahnya. Dia membayang meja yang tua dari kayu dengan ukiran-ukiran Aneh. Kupikir ada Surya Majapahit diukirannya. “Oke!” Suruh Ayahnya. “Ya, Ayah akan kulakukan.” Jawab Andre sambil mengangguk. “Bagus Anak baik, ingat-ingat itu, oke” Sambil ketawa. Dan seperti biasa mereka berdua mengepalkan tangannya, dan meninju kepalannya. “Ayah AC-Milan dan Liverpool, yang menang Milan!” katanya menjelaskan hasil pertandingan Liga Champion. “Iya, kukira Liverpool menang” Mereka tersenyum dan mereka berdua kembali kekamar. Tak lupa mematikan lampu mejanya. Klik. Gelap.
                Dikamar Andre memikirkan apa yang akan dia lakukan besok. Besok hari Minggu. Nonton TV, Main Ps dirumah teman, dan harus lama main WE. Motor-an, ke warung. Main Monopoli, sambil nonton TV dirumah Ali, sambil makan Pop Mie rasa Bakso, Anget, sambil nyusrup Teh Lemon anget. Pasti Asyik. Tak sabar besok. TIDUR AH.
                Keesokan Harinya. Semua tak sesuai rencana. Andre terbelalak.
                TV-nya menyala merah, Andre memelototi tak percaya. Ibunya yang dari pagi menonton bersama Andre. Kecuali, Kecuali Ayahnya, dia tidak sejak pagi. Sesuatu telah terjadi. Ibunya menteskan air mata, di satu sisi matanya. AYAH.**
               
                Dan Sore ini. Sore yang dipenuhi langit merah, Mega indah. Andrew meneteskan air mata. “Seseuatu telah tejadi Ayah, tapi mengapa?” Air matanya mengalir lewat pipinya. Dan jatuh menghapus debu dan keringat. Dan jatuh mengalir ke dagunya. Dan jatuh ke tanah, membasahi pasir dibawahnya. Ayah, aku sudah hampir tamat. Dan pasti akan terus kulanjutkan, Ayah. Aku telah belajar dengan giat. Nilaiku tak pernah di bawah B. Dan Ayah Piala dunia kali ini yang menang, Spanyol. Tiba-tiba Andrew merasa sangat kalut, kaget. Dia mengorek-ngorek kembali memory-nya. dan sesuatu terlitas di benaknya. Di saraf tulang belakang yang emnyambung langsung ke otak. Yang menyalurkan darah dingin keseluruh tubuhnya. Yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dia sekarang ingat.
                “….tarik laci meja kerja Ayah.” Dag dig dug.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar